![]() |
Yoga Nursiwan saat bertemu warga. Dok Pribadi |
TANJUNGPANDAN,
SATAMEXPOSE.COM –
Bangka Belitung dikenal dengan sektor pertambangannya, terutama sebagai
penghasil timah. Namun bila menengok kebelakang, provinsi kepulauan ini
memiliki potensi lain, yakni potensi perkebunan.
Salah satunya lada atau masyarakat menyebutnya sahang yang
terkenal dengan brand Muntok White Paper. Hal itu membuktikan para petani lada,
khususnya lada putih di Babel ini pernah melalui masa jayanya.
Namun kejayaan lada putih perlahan sirna seiring perkembangan
sektor pertambangan. Selain itu juga biaya perkebunan yang mahal membuat para
petani lebih memilih beralih dan tak melirik lada sebagai komoditi tanam.
Caleg DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Yoga Nursiwan
ingin daerah Babel kembali menjadi penghasil lada unggulan. Hal ini bisa
terwujud dengan adanya kebijakan dari pemerintah daerah yang berpihak pada
sektor perkebunan.
“Muntok White Paper pernah jaya, hampir setiap wilayah di
Babel ini bisa ditemukan lada putih. Saya yakin sektor ini bisa mengangkat lagi
tingkat ekonomi masyarakat selain yang sudah ada saat ini,” kata Yoga Nursiwan
kepada SatamExpose.com.
Yoga Nursiwan menjelaskan, para petani lada mulai
meninggalkan lada karena beberapa faktor. Diantaranya tingginya biaya perawatan
perkebunan lada dan harganya yang tak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.
Terlebih, lanjut Yoga Nursiwan, banyak petani lada yang sudah
terjerat dengan sistem ijon. Sistem ini dibangun para cukong atau tengkulak
untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan membeli lada dari petani.
“Karena biaya yang mahal, jadi petani mengambil pupuk dan
obat pembasmi hama ini dari cukong. Syaratnya hasil panen harus dijual ke
cukong itu. Tapi harganya itu ditentukan saat masih di pohon, jadi harganya
rendah. Ini jelas merugikan petani,” jelas alumni SMAN 1 Tanjungpandan ini.
Sistem yang ada sekarang ini dinilai Yoga Nursiwan juga masih
sangat dikendalikan para tengkulak. Yakni menekan harga serendah mungkin saat
panen lada, sedangkan pada masa diluar panen, harga lada kembali normal.
“Petani biasanya langsung menjual setelah panen, karena
mereka ingin menutup biaya yang sudah dikeluarkan sebelumnya untuk bibit, pupuk
dan obat hama tadi. Mereka tidak bisa menahan untuk menjual lada pada masa
tidak panen karena faktor ekonomi,” papar Yoga Nursiwan.
Menurut Yoga Nursiwan, pemerintah daerah bisa mengambil
kebijakan untuk membantu para petani lada ini. Beberapa program sudah
dilaksanakan, seperti subsidi pupuk dan bibit. Namun tidak menyelesaikan
masalah pemasarannya.
Yoga Nursiwan memaparkan, bila dirinya berhasil duduk di
jajaran legislatif, ia akan melakukan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan di
luar Belitung yang membutuh lada. Sehingga harga pasar tidak dipermainkan
tengkulak.
"Selain itu, lada ini bisa kita olah dan kirim dalam bentuk
yang sudah jadi. Sehingga ini juga bisa menarik lapangan kerja, karena
produksinya ada di Belitung," tandas Yoga Nursiwan. (adv/als)