Ticker

6/recent/ticker-posts

KOMODITI EKSPOR KETAM KELEMANGOK MAKIN TERANCAM

# Sangat Tergantung Hutan Bakau

# Teknologi Budidaya Sulit Berhasil

TANJUNGPANDAN, SX - Belitung merupakan daerah kepulauan dengan potensi besarnya kelautan dan perikanan. Salah satu komoditi ekspor dari Negeri Laskar Pelangi ini adalah kepiting bakau, atau biasa disebut masyarakat setempat ketam kalimangok.

Ketam kalimangok ini banyak diekspor ke Hongkong, Singapura serta beberapa negara lainnya di Asia. Selain berukuran besar, kepiting jenis ini juga bernilai gizi tinggi. Harganya pun di negara tujuan cukup mahal.

Sayang, komoditi ekspor dari hasil kelautan dan perikanan ini terancam hilang. Dari tahun ke tahun ekspor kepiting bakau semakin menurun dari segi kuantitas maupun kualitas. Pasalnya ketam kalimangok semakin sulit untuk ditemukan.

Kepala Bidang (Kabid) Perikanan Tangkap, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Belitung, Firdaus Idam mengatakan keberadaan ketam ini sangat tergantung dengan hutan bakau. Hutan bakau merupakan habitat kepiting yang bisa mencapai ukuran hingga 4-5 kilogram (kg) ini.

"Yang kita khawatirkan kalau bakau kita sudah semakin habis, bukan tidak mungkin potensi kepiting ini berkurang. Karena mereka ini hidup berkaitan erat dengan bakau," sebut Idam kepada wartawan 'SX' baru-baru ini. 

Saat ini, ketam kalimangok masih bisa ditemukan di pesisir Pulau Mendanau (Selat Nasik), Desa Juru Seberang (Tanjungpandan), Desa Tanjung Rusa (Membalong) serta Desa Pegantungan (Badau). Pasalnya di daerah-daerah tersebut masih bisa ditemukan hutan bakau.

Hutan bakau tidak hanya sebagai habitat ketam kalimangok, namun juga berbagai binatang dan makhluk hidup lain dalam ekosistem. Diantaranya kepiting jenis rajungan, burung serta organisme lain yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia.

Kekhawatiran akan hilangnya komoditi ekspor ketam kalimangok ini ditambah dengan sulitnya mengembangbiakkan dalam budidaya. Hingga saat ini belum ada teknologi yang sesuai untuk digunakan dalam pengembangbiakan ketam kalimangok.

"Kemarin dibalai besar saja, masih diteliti untuk pembudidayaan ini. Kita juga pernah kemarin, dari swadaya masyarakat yang mencoba, tapi gagal," kata Kabid Perikanan Budidaya DKP Belitung, Firdaus Zamri.

Sulitnya budidaya ketam kalimangok dikarenakan kepiting jenis ini merupakan pemakan sesama atau kanibal. Sehingga tidak bisa dilakukan budidaya secara masal seperti binatang budidaya lain. Dalam wilayah satu meter persegi hanya bisa ditempati 3-5 ekor ketam kalimangok agar tidak saling memangsa.

Setelah ketam tersebut berkembang biak, peranakannya juga harus dipisahkan dengan ketam dewasa agar tidak dimakan. Sehingga perlu biaya cukup besar untuk budidaya kalimangok.

Hal tersebutlah yang menjadikan satu dari sekian banyak alasan agar hutan bakau tetap dijaga. Penangkap ketam kalimangok ini biasanya merupakan nelayan tradisional yang masih menggantungkan hidup dari lingkungan sekitar.

Jarang Ditemukan

Baru-baru ini seorang pengepul ketam untuk ekspor, Darsono berhasil membeli ketam kalimangok dengan ukuran cukup besar, yakni mencapai lebih dari 2 kg. Ketam kalimangok super tersebut dibeli dari seorang nelayan di Pulau Mendanau, Selat Nasik.

Darsono yang telah lama menggeluti bisnis ini mengaku baru kembali melihat ketam dengan ukuran besar setelah sekian lama. Ia terakhir kali melihat ketam dengan ukuran sama 17 tahun yang lalu. Ketam tersebut ia temukan di Tanjung Kelumpang, Beltim.

Hal ini membuktikan bahwa ketam kalimangok semakin terancam keberadaannya. Padahal ketam kalimangok ini sangat diminati di negara-negara tujuan ekspornya. Komoditi ini juga terbilang paling mentereng ketimbang komiditi ekspor hasil kelautan dan perikanan lainnya.

"Ini sudah langka sekarang, biasa saya kalau beli cuma ukuran satu kilo lebih-lebih sedikitlah. Terakhir yang kayak gini saya lihat 17 tahun lalu," kata Darsono.

Ketam kalimangok yang ditemukan nelayan Mendanau tersebut, lanjut Darsono, berumur sekitar 8-9 bulan. Lokasi penemuan masih terbilang alami dengan hutan bakau cukup lebat di Selat Nasik.

"Kalau di Sangapura harganya bisa setengah juta. Soalnya disana peminatnya cukup tinggi. Kalau tidak musimnya, yang ukuran-ukuran biasa saja susah didapat," papar Darsono. (*)